Oleh: Armando Mahasiswa Ilmu Politik Univeristas Jambi
JambeNews – Di tengah suasana Pilkada Jambi yang seharusnya menjadi ajang unjuk komitmen dan kesetiaan, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Provinsi Jambi Syarif Fasha tampaknya menunjukkan sikap yang menciptakan kebingungan besar.
Bukannya mendukung pasangan calon gubernur yang telah disepakati dan diusung oleh DPP Nasdem Romi-Sudirman, Fasha terkesan “diam-diam” mendukung pasangan calon lain di luar koalisi resmi partainya.
Dalam kacamata mahasiswa ilmu politik, tindakan ini bukan sekadar pilihan pribadi tetapi gambaran nyata tentang loyalitas yang lemah dan prinsip partai yang mudah diabaikan.
Ketika partai nasdem membuat keputusan untuk mendukung pasangan Romi-Sudirman, keputusan itu tidak muncul dari ruang kosong pastinya.
Nasdem juga mampu menjadi “Rising Star” karena nasdem Jambi mampu keluar dari rayuan koalisi yang sangat besar bahkan menyisakan partai nasdem sendiri di parlemen, kalau kita hitung jumlah kursi dari 55 di DPRD Provinsi Jambi hanya menyisakan 5 kursi dengan ini nasdem mampu menjadi bagian dari penyelamat demokrasi di Jambi karena pupus sudah skema lawan kotak kosong yang dibuat oleh petahana.
Nasdem serta beberapa partai non parlemen pastinya dengan keputusan ini lahir dari kajian panjang, pertimbangan politik yang matang, dan yang terpenting, dari keinginan untuk memberikan arah yang jelas bagi seluruh struktur partai.
Namun entah kenapa, Ketua DPW Nasdem Jambi Syarif Fasha tampaknya memiliki agenda sendiri, yang tak sejalan dengan garis besar partainya. Sikap ini seperti mengatakan, “Keputusan DPP hanya formalitas, saya punya rencana sendiri.”
Dalam beberapa kesempatan yang seharusnya menjadi ajang untuk memperkenalkan paslon dari partai nasdem tetapi Ketua DPW Syarif Fasha malah mengundang paslon lain yang bukan dari partai nasdem dan koalisinya, saat selamatan atas terpilihnya Fasha sebagai anggota DPR RI.
Ironisnya Fasha menghadirkan dan memperkenalkan calon gubernur yang bukan dari koalisinya, perlu juga diingat terpilihnya Ketua DPW nasdem Syarif Fasha sebagai anggota DPR RI bukan kerjanya sendiri. Kerja Partai juga berperan dan di bantu oleh suara 7 caleg DPR RI yang lainnya dari partai nasdem.
Dalam kacamata ilmu politik, sikap seperti ini mengundang pertanyaan mendasar tentang bagaimana loyalitas dalam partai politik dijalankan di tingkat daerah. Ketua DPW seharusnya menjadi tokoh utama yang memastikan bahwa seluruh kader di wilayahnya berjalan sesuai arahan pusat.
Alih-alih menunjukkan dukungan aktif pada calon yang diusung Nasdem, ketua DPW ini justru terlihat lebih aktif dalam mendukung pasangan lain. Ini menunjukkan adanya kontradiksi besar antara komitmen yang seharusnya dijaga dan kepentingan yang dijalankan.
Anehnya juga Ketua DPW Partai Nasdem Syarif Fasha tidak komit dalam memenangkan paslon yang di usung oleh koalisi partainya walaupun setelah Wakil Ketua Umum (Waketum) NasDem Saan Mustopa bersama Ketua Bappilu, Prananda Surya Paloh hadir di Jambi.
Ketua Bappilu Partai Nasdem sempat berpesan “Kita harus saling menjaga kekompakan, saling bahu-membahu, dan saling menolong satu sama lain,” ujar Prananda, dikutip Sabtu, 26 Oktober 2024.
Jika loyalitas partai bisa dikesampingkan dan keputusan pusat dianggap sekadar “arahan”, lalu di mana arti dari solidaritas dan kesatuan yang selama ini diusung partai politik?
Ketua DPW yang secara terang-terangan mendukung calon di luar koalisi partainya, secara tidak langsung mengirim pesan bahwa loyalitas pada partai adalah hal yang relatif, bisa diterima atau ditolak tergantung pada keuntungan pribadi atau afiliasi lainnya.
Hal ini bukan hanya merugikan Partai Nasdem sebagai institusi, tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap partai tersebut di tingkat lokal.
Dalam politik, tindakan Ketua DPW ini adalah bentuk dari oportunisme politik yang membahayakan. Publik yang melihat seorang pimpinan partai bertindak berlawanan dengan keputusan partai pasti akan mempertanyakan: jika Ketua DPW saja tidak taat pada keputusan DPP, bagaimana dengan struktur di bawahnya? Situasi ini menciptakan kesan bahwa Nasdem tidak mampu mengendalikan dan menjaga kedisiplinan di dalam tubuhnya sendiri.
Jika Partai Nasdem tidak segera menindaklanjuti tindakan ini dengan tegas, mereka hanya akan membuka peluang bagi kader-kader lain untuk melakukan hal yang sama. Pada akhirnya, tanpa ketegasan dari pusat, Nasdem akan terjebak dalam konflik kepentingan internal yang hanya akan merugikan partai di mata publik.
Partai yang tak mampu mengendalikan struktur di bawahnya akan tampak rapuh dan kehilangan arah, karena setiap kader merasa bebas menentukan langkahnya sendiri tanpa mempedulikan keputusan bersama.
Bagi kami mahasiswa ilmu politik, kasus ini adalah cermin tentang betapa pentingnya konsistensi dan disiplin dalam partai politik. Tanpa komitmen yang kuat, partai akan kehilangan makna dan berubah menjadi sekadar kendaraan yang penuh kepentingan pribadi, tindakan ini mencerminkan budaya pragmatisme dan kepentingan jangka pendek yang sangat berbahaya dalam partai politik.
Loyalitas, yang seharusnya menjadi prinsip dasar, seolah menjadi barang dagangan yang bisa dipertukarkan sesuai dengan keuntungan politik pribadi.
Partai Nasdem harus segera bersikap tegas apakah mereka akan menjadi partai yang konsisten pada prinsip, atau hanya panggung bagi para oportunis yang setia pada partai hanya ketika menguntungkan?